Ads Top

Rempah Terlupakan, Sains Berupaya Memuliakan Kapur Barus Kembali

Dalam bukunya yang berjudul History of Sumatra (1783), William Marsden, seorang pegawai pemerintah kolonial di Inggris, menulis bahwa kapur barus atau kamper banyak diminati. Dia menambahkan, lantaran banyak peminat, harganya pun sangat tinggi, setara de­­ngan harga emas pada masa itu.

Aswandi Anas, peneliti dari Balai Penelitian Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli, mengungkapkan bahwa awal istilah kamper tercatat di dunia Barat adalah melalui Aetii Medici, karya Aetius Amida (502– 578 M). Bahkan pada abad ke-9, Al-Kindi, seorang ahli kimia berkebangsaan Arab juga telah menulis manfaat dan pembuatan kapur barus yang terekam dalam Kitab Kimiya al-‘Itr.

“Komoditas dari pantai barat Sumatra ini pun tersebar ke seluruh penjuru dunia,” kata Aswandi.

Penamaan Pelabuhan Barus di Sumatra juga tidak lepas dari peran kapur barus yang menjadi komoditas perdagangan yang populer kala itu. Aktifnya transaksi perdagangan kapur barus oleh pedagang asing dibuktikan dengan ditemukannya Prasasti Tamil di desa Lobo Tua, kecamatan Andam Dewi, pada 1873.

Aswandi menambahkan, masyarakat Tiongkok yang kerap mengembangkan pengobatan tradisional, memanfaatkan kapur barus untuk ramuan kesehatan peningkat stamina (to­nikum), penguat libido (aphrodisiacum) dan pereda radang mata.

Sementara itu, masyarakat Mesir Kuno memanfaatkan kamper sebagai balsam pe­­ngawet jasad manusia dan masyarakat Timur Tengah menggunakan kamper sebagai bahan obat-obatan dan juga pewangi.

“Tidak banyak yang tahu jika barus—ditambah dengan kemenyan—sejatinya memiliki aroma yang wangi nan lembut yang cocok dijadikan parfum, formulanya alami dan aman bagi kesehatan,” tutur Aswandi.

Bersama dengan sang istri yang juga se­orang peneliti, Cut Rizlani Kholibrina, Aswandi mengembangkan produk parfum yang memanfaatkan minyak kamper yang dikombinasikan dengan minyak kemenyan sebagai bagian dari riset.


“Parfum ini menggunakan minyak kapur yang dipadukan dengan berbagai minyak atsiri dari flora hutan tropis Indonesia. Minyak kemenyan digunakan sebagai ‘pengikat’ (fix agent) yang diformulasikan dengan mempertimbangkan gradasi aroma yang sesuai. Proses pengolah­an dimulai dari ekstraksi minyak kamper dan kemenyan murni,” papar Aswandi.

Minyak atsiri kapur barus dan hidrosolnya mengandung senyawa aromatik yang menyegarkan dan bermanfaat memberikan efek relaksasi. Parfum ini tidak mengandung alkohol dan memiliki konsentrasi tinggi. “Dengan begitu, aroma eksotiknya mampu bertahan lama hingga 16-24 jam,” imbuhnya.

Penelitian telah menunjukkan bahwa minyak dari kapur barus dan kemenyan memiliki kan­dungan fitofarmaka yang berfungsi sebagai antivirus. Kegunaannya sebagai antiseptik dengan aroma yang membuat rileks dapat memperbaiki sistem saraf, mengembalikan keseimbangan tubuh, serta melancarkan peredaran darah.


“Inovasi parfum kapur dan kemenyan ini mengisi celah riset sekaligus sebagai ide usaha yang bisa diterapkan di masyarakat. Jika diolah dengan baik, itu bisa benar-benar menjadi parfum bernilai ekonomi tinggi,” ungkap Aswandi.

Permintaan terhadap resin kapur dari industri parfum cukup tinggi dan diperkirakan akan terus berlanjut. Namun sayangnya, permintaan ini tidak diimbangi dengan pasokan dalam negeri. Pohon-pohon kapur yang berada di bagian barat wilayah Singkil, sungai Natal, antara Sibolga dan Padang Sidempuan sampai Aerbangis, juga Kepulauan Riau termasuk Bengkalis dan Malaka—mengalami penurunan produktivitas.

Sejak 2019, International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengategorikan Dryobalanops aromatica dalam “Daftar Merah” sebagai spesies terancam punah. Ancaman disebabkan oleh praktik penebangan yang tidak benar untuk mendapatkan kristal kapur barus di batang pohon. Kebakaran dan konservasi hutan menjadi perkebunan sawit juga menjadi salah dua penyebab berkurangnya populasi pohon kapur.

No comments:

Powered by Blogger.